Seminggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2015, saya dan teman-teman saya mengikuti acara Run for Leprosy yang di selanggarakan di kawasan Alam Sutera. dalam acara tersebut, pendaftar memiliki dua pilihan untuk mengikuti acara lari tersebut, yaitu lari 5K atau lari 10K. Pada saat itu saya memilih lari 5K, alasannya, pertama saya bukan athlete lari, kedua stamina saya kurang bagus, dan ketiga saya jarang mengikuti acara lari seperti ini.
Menurut saya, acara ini sangat berguna, baik untuk melatih fisik saya, juga untuk memberikan kesegaran tersendiri terhadap tubuh saya yang jarang berolahraga. Selain itu, sebelum dimulainya lari tersebut, panitia juga mengadakan senam Zumba bersama.
Pada acara ini, saya mendapatkan medali serta banyak makanan dan minuman saat memasuki garis finish.
Run for Leprosy, setau saya acara ini diselenggarakan untuk membantu penderita penyakit Kusta. Penyakit kusta telah menyerang manusia sepanjang sejarah. Banyak para ahli percaya bahwa tulisan pertama tentang kusta muncul dalam sebuah dokumen Papirus Mesir ditulis sekitar tahun 1550 SM. Sekitar tahun 600 SM, ditemukan sebuah tulisan berbahasa India menggambarkan penyakit yang menyerupai kusta. Di Eropa, kusta pertama kali muncul dalam catatan Yunani kuno setelah tentara Alexander Agung kembali dari India. Kemudian di Roma pada 62 SM bertepatan dengan kembalinya pasukan Pompei dari Asia Kecil.
Sepanjang sejarahnya, kusta telah ditakuti dan disalahpahami. Untuk waktu yang lama kusta dianggap sebagai penyakit keturunan, kutukan, atau hukuman dari Tuhan. Sebelum dan bahkan setelah penemuan bakteri penyebab kusta, orang yang pernah mengalami kusta menghadapi stigma dan dijauhi oleh masyarakat. Sebagai contoh, di Eropa selama Abad Pertengahan,orang yang pernah mengalami kusta harus mengenakan pakaian khusus, cincin lonceng untuk memperingatkan orang lain bahwa mereka sudah dekat, dan bahkan berjalan di sisi tertentu jalan, tergantung pada arah angin. Bahkan di zaman modern, pengobatan kusta sering dilakukan di rumah sakit khusus dan mereka tinggal terpisah di koloni yang disebut leprosariums.
Pada tahun 1873, Dr Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman yang menyebabkan penyakit kusta di bawah mikroskop. Hansen dengan penemuan Mycobacterium lepraemembuktikan bahwa kusta disebabkan oleh kuman, dan dengan demikian tidak turun-temurun, dari kutukan, atau dari dosa.
Sampai akhir 1940-an, para dokter lepra di seluruh dunia mengobati pasien yang terkena kusta dengan menyuntikkan minyak dari kacang chaulmoogra. Cara pengobatan ini cukup menyakitkan, dan walaupun beberapa pasien tampak mendapatkan manfaat dari pengobatan ini, namun dampak jangka panjang dari pengobatan ini masih diragukan.
Tahun 1921, US Public Health Service mendirikan W. Gillis Long Hansen's Disease Center di Carville, Louisiana, yang dikenal sebagai "Carville." Lembaga ini menjadi pusat penelitian dan pengujian untuk menemukan obat untuk kusta dan tinggal di sebuah pusat perawatan untuk pasien kusta.
Berikutnya pada tahun 1941,Promin, sebuah sulfon obat, diperkenalkan sebagai obat untuk kusta. Pertama kali diidentifikasi dan digunakan di Carville. Promin berhasil merawat kusta tapi sayangnya Promin menimbulkan efek yang menyakitkan ketika disuntukkan pada pasien. Pada tahun 1950,Pil Dapson, ditemukan oleh Dr R.G. Cochrane di Carville, menjadi pilihan untuk pengobatan kusta. Dapson bekerja luar biasa pada awalnya, tetapi sayangnya, Micobacterium leprae pada akhirnya mulai mengembangkan perlawanan terhadap dapson. Sukses pertama multi-obat perawatan (MDT) rejimen untuk kusta dikembangkan melalui uji coba obat di pulau Malta. Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan MDT mulai, kombinasi dari tiga obat: dapson, rifampisin, dan clofazimine. MDT dengan obat-obatan ini saya ambil dari enam bulan sampai satu tahun atau bahkan lebih, tergantung pada kusta stregnth infeksi. MDT dengan kombinasi dapson, rifampisin, dan masih clofazimine pengobatan terbaik untuk mencegah kerusakan saraf, cacat, kecacatan dan penularan lebih lanjut. Para peneliti sedang berusaha mengembangkan vaksin dan cara untuk mendeteksi kusta cepat untuk memulai perawatan sebelumnya.
Kusta atau Leprae adalah penyakit yang menyerang syaraf tepi, kulit, dan organ tubuh dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi dengan normal. Kusta disebabkan oleh bakteri yang tahan asam, gram positif, yaitu Mycobacteriun Leprae. Penularan kusta dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita dan udara pernapasan. Namun, hal ini tergantung dari imunitas tubuh individu. Jika imunitas tinggi kemungkinan untuk menderita penyakit ini sangat jarang. Gejala klinis dari penyakit kusta ini membutuhkan waktu yang lama. Masa inkubasi dari bakteri ini bisa 2 minggu, 1 tahun, dan 5 tahun, bahkan dapat sampai 12 tahun tergantung dari kekebalan individu.
Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka dan mati rasa karena kerusakan saraf tepi.
Jumlah penderita kusta di beberapa negara di dunia yang pernah mengalami pandemi menurun tajam dari tahun ke tahun. Namun, di Indonesia justru meningkat. Duta Misi Lepra Internasional untuk Indonesia A.B Susanto di Jakarta mengatakan bahwa jumlah kasus lepra baru di dunia yang tahun 2001, 760 ribu turun tajam menjadi 210 ribu kasus pada awal 2008. Di Indonesia yang tahun 2002 jumlah kasus barunya baru 12 ribu pada awal tahun 2008 malah bertambah menjadi sekitar 17 ribuan. Dan juga menjadi berita hangat di beberapa media baru-baru ini, Indonesia menjadi negara nomor 3 di dunia yang penduduknya menderita kusta terbanyak setelah Brazil dan India. Hal ini sungguh sangat ironis yang bertepatan dengan hari kusta sedunia. Untuk apakah kita memperingati hari kusta setiap tahun namun tiap tahun pula penderita kusta makin meningkat?
Di Indonesia, jumlah penderita baru tahun 2008 adalah 17.243 dan 29% darinya berasal dari Jawa Timur. Penyakit Kusta di Jawa Timur masih merupakan masalah kesehatan terutama di 15 kabupaten atau kota yang berada di pantai utara Pulau Jawa dan Madura karena prevalensi masih di atas 1/10.000.
Jawa timur adalah propinsi yang penderita kusta paling tinggi. Hal ini sangat memprihatinkan. Di era globalisasi, di mana kesehatan makin membaik dan teknologi makin maju, penyakit kusta belum dapat diatasi. Kusta adalah penyakit kuno yang muncul 2000 tahun yang lalu. Apakah karena penyakit lama, Indonesia mengabaikannya atau bahkan melupakan penyakit tersebut? Mengapa penyakit kusta sulit di atasi?
Hal ini sangat sulit dipercaya, kusta adalah penyakit yang tidak membahayakan dan mematikan seperti Flu burung dan HIV AIDS. Namun, kusta ini menimbulkan kecacatan jika tidak diketahui sejak dini. Penyakit ini timbul dalam jangka waktu yang lama. Hal ini menyebabakan sulit terdeteksinya kusta sejak dini. Apabila sejak awal sudah terdeteksi terdapat bakteri penyebab kusta, penyakit ini tidak akan menimbulkan kecacatan. Selain itu, penyakit kusta adalah penyakit menular yang sulit menular karena tiap individu memiliki kekebalan normal terhadap bakteri tersebut.
Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa penyakit kusta hanyalah sekedar sejarah kelam masa lalu. Kenyataannya tidak seperti anggapan banyak orang, penderita penyakit kusta di Indonesia justru meningkat. Tantangan lain yang tidak kalah beratnya adalah aspek sosial psikologis yang ditanggung oleh para penderita penyakit kusta. Mereka mendapat stigma, dan kemudian menjadi korban tindakan diskriminatif, dikucilkan dari pergaulan sosial, dan sulit memasuki lapangan kerja secara fair.
Selain itu, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa penyakit kusta adalah kutukan dari Tuhan Yang maha Esa atas dosa-dosa yang pernah dibuat, dan kutukan itu diyakini dapat mendatangkan bencana. Penderita kusta terisolisasi dan dikucilkan dari masyarakat luas. Bahkan, mereka tidak diakomodir dengan baik oleh masyarakat umum dan juga beberapa instansi. Mereka dianggap sebagai orang yang perlu dikasihani atau bahkan dihindari dalam artian tidak diberikan kesempatan untuk berapresiasi dalam hidup mereka.
Kurangnya kesadaran dari penderita kusta untuk berobat juga merupakan alasan meningkatnya kusta di Indonesia. Dan juga kurang sosialisasi dari tenaga kesehatan untuk memberikan pengetahuan kepada penderita kusta dan masyarakat yang sehat.
Penularan penyakit kusta bisa melalui kontak langsung dan udara. Biasannya penyakit ini melanda di tempat yang kepadatan penduduknya tinggi seperti di Jawa Timur. Selain itu, sanitasi yang buruk dan perilaku individu yang tidak menerapkan perilaku hidup bersih sangat menunjang penularan penyakit ini. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi agar penderita kusta tidak bertambah banyak, maka seharusnya petugas kesehatan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat melakukan pemeriksaan terhadap masyarakat miskin di berbagai daerah. Faktor kemiskinan, sumber daya manusia yang rendah, dan kurangnya pemahaman tentang kebersihan lingkungan mendorong seseorang berpotensi terserang penyakit kusta.
Penyakit kusta dapat dicegah dengan cara masyarakat rajin memeriksakan diri ke puskesmas agar diketahui sejak dini. Menciptakan lingkungan dan sanitasi yang bersih di masyarakat. Menjaga hidup bersih dan daya tahan tubuh seseorang harus baik. Oleh karena itu, kita harus makan makanan yang bergizi.
Sebenarnaya pemerintah telah melakukan program untuk mengatasi penularan kusta, yaitu membuat perkampungan khusus kusta. Perkampungan itu tujuannya untuk memudahkan pengobatan penderita kusta dan mengurangi risiko penularan ke orang lain. Namun, apakah efektif cara seperti ini? Ini secara tidak langsung mengisolasi para penderita kusta dengan dunia luar. Mereka akan dikucilkan dari masyarakat luas. Mereka dianggap monster yang sangat menakutkan oleh masyarakat awam. Kusta bukanlah penyakit yang membuat orang mati seketika, seperti penyakit menular lainya. Akan tetapi, bisa dikatkaan sebagai penyakit kronis. Penyakit ini menimbulkan banyak masalah sosial dan ekonomi bagi penderitanya. Dibutuhkan peran serta mantan penderita kusta dan penderita berbicara secara terbuka di dalam masyarakat itu sendiri agar mereka tidak dikucilkan di masyarakat. Kita tidak boleh menafikkan mereka dari segala usaha kita dalam mengentaskan masalah kusta. Sayang, selama ini kita kurang memberdayakan mereka.
Akan tetapi, untuk mencapai semua usaha tersebut tidaklah mudah, ternyata stigma-stigma yang terjadi di dalam masyarakat dan juga penyandang kusta masih besar. Di beberapa tempat masih sangat ekstrim, setiap langkah dari penderita kusta dianggap sangat berbahaya dan akan menjangkitkan penyakit tersebut ke orang lain. Padahal penyakit ini adalah penyakit menular yang paling lambat menular dibanding penyakit menular lain. Stigma inilah yang membuat penyandang kusta hidup berkelompok, dan mengelompokkan dirinya, yang pada akhirnya malah membuat permasalahan makin menumpuk. Hanya sedikit presentase dari penderita kusta yang mampu mengembangkan dirinya secara mandiri.
Kita tahu bahwa Indonesia sangat lamban dalam mengembangkan dan memberdayakan penderita kusta. Apalagi kita sampai sekarang belum menerapkan dan memperhatikan undang-undang yang memilki konsekuensi dalam menerapkan azas-azas hak asasi manusia bagi orang-orang cacat. Pemerintah dan tenaga kesehatan harus bekerja keras untuk menanggulangi maslah kusta.
Kita mengetahui bahwa kusta dapat disembuhkan dengan terapi, yaitu dengan obat yang disebut Multi Drug Therapy (MDT) yang didapat gratis di puskesmas. Untuk tipe paucibacillary (PB) memerlukan waktu 6 bulan, sedangkan tipe multibacillary (MB) lebih lama yaitu sekitar 1 tahun. Seharusnya tidak ada alasan untuk tidak mengurangi jumlah penderita kusta di Indonesia. Penderita kusta yang diobati dini bisa mencegah timbulnya cacat dan akan sembuh sempurna. Setelah diobati kusta tidak menular ke orang lain.
Namun, masalahnya sekarang jika penyakit kusta tersebut hanya diobati dan tidak dilakukan pencegahan sama saja bohong karena kunci utamanya adalah pemberantasan dari agent penyebab kusta, yaitu Mycobacterium leprae.
Mulai dari sekarang kita, tenaga kesehatan, instansi pemerintahan, swasta, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memberantas penyakit kusta ini. Masyarakat dan penderita kusta juga harus menjaga perilaku hidup bersih agar terhindar dari penyakit kusta dan penyakit-penyakit lain. Diharapkan pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan untuk membantu meringankan penderitaan mereka. Tenaga kesehatan memberikan pendidikan, penyuluhan, dan sosialisasi mengenai penyakit kusta dan masalah kesehatan. Masyarakat diharapkan dapat menghapus stigma-stigma yang negatif terhadap penderita kusta dan mau menerima mereka di lingkungan kita. Dengan begitu derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapat tercapai
No comments:
Post a Comment